Rabu, 03 April 2013

Ekskusif Wawancara Wiwin soal sprindik Anas

MERDEKA.COM. Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan sekretaris Ketua KPK Abraham Samad, Wiwin Suwandi, sebagai pelaku pembocor Surat Perintah Penyidikan atas tersangka Anas Urbaningrum. Tetapi, mereka tidak bisa menjatuhkan sanksi buat Wiwin, lantaran dia bukan pimpinan. Hanya Dewan Pertimbangan Pegawai yang berhak memberikan sanksi kepada Wiwin. Kemungkinan besar, kariernya di KPK tamat akibat perbuatannya itu.

Dalam wawncara dengan Aryo Putranto Saptohutomo dan Putri Artika Resyakasih dari merdeka.com beberapa waktu lalu, Wiwin mengakui dia yang berinisiatif menyebarluaskan sprindik Anas itu kepada wartawan. Bahkan, dia mengatakan Abraham Samad tidak mengetahui hal itu. Dia pun membantah ketika disebutkan penyebaran sprindik itu atas perintah Abraham.

Hal itu sekaligus meruntuhkan opini yang menuding Abraham Samad sebagai pelaku utama pembocor sprindik Anas selama ini. Tetapi, benarkah di balik pengusutan pembocor sprindik dan pembentukan Komite Etik ada agenda buat menjatuhkan Abraham Samad dari posisinya sebagai Ketua KPK? Lalu mengapa KPK ngotot membentuk Komite Etik? Padahal Wiwin sudah mengaku sejak awal dia adalah si pembocor itu. Berikut petikan wawancara khusus dengan Wiwin Suwandi.

Jadi bagaimana urutan peristiwa sampai sprindik AU bisa bocor?

Sejak awal saya mengakui yang membocorkan sprindik. Jadi begini, awalnya sudah ada gelar perkara kecil soal kasus gratifikasi proyek Hambalang, yang dihadiri oleh satuan tugas kasus gratifikasi hambalang dan direktur penindakan. Dari situ mereka sepakat menaikkan status kasus ini ke penyidikan.

Nah, tetapi tentu publik nantinya akan bertanya-tanya. Kok kasusnya Hambalang, tapi cuma kena soal gratifikasi. Ternyata itu strategi penyidik. Para penyidik pun mengakui tidak ada tekanan dalam mengusut kasus Hambalang. Penyidik pun mengakui mereka sudah terlambat, karena untuk kasus Hambalang ditargetkan selesai pada November tahun lalu. Tetapi mungkin karena alasan alat bukti atau tanda tangan, akhirnya penyidikan tertunda empat bulan.

Usai ekspose kecil itu, di antara lima pimpinan, ada satu yang belum sepakat soal penaikan penyidikan gratifikasi Hambalang, yaitu Pak Busyro (Muqoddas). Dia minta ada satu kali gelar perkara lagi. Yang lain sudah sepakat. Lalu turunlah draf sprindik itu. Begitu sampai ke tangan Pak Abraham melalui saya, dia langsung tanda tangan. Karena saat itu Busyro sedang berada di Medan, sementara Bambang Widjojanto sedang berada di luar negeri. Apalagi pekan depannya Pak Abraham ke Selandia Baru.

Saya berpikir agar jangan sampai gara-gara Pak Ketua belum tanda tangan semuanya jadi terhambat. Karena sudah biasa di KPK tanda tangan pimpinan lain dalam sprindik bisa menyusul.

Usai diparaf, malam itu satu rangkap salinannya saya berikan ke Pak Abraham. Dia kan mesti punya arsip, buat jaga-jaga kalau ditanya wartawan. Setelah itu, saya scan lagi draf sprindik itu dan saya cetak kembali. Salinan yang kedua itu yang saya berikan kepada dua wartawan keesokan harinya. Tetapi malam itu, saya juga menginformasikan soal sprindik ke Irman Putrasidin dan Alvon Kurnia Palma.

Namun malam itu, sudah ada kabar AU jadi tersangka. Tapi bukan dari saya. Ternyata penyidik pun juga mengabarkan kepada orang lain. Saat saya berikan salinan sprindik kepada dua wartawan itu alasannya sederhana saja. Agar kasus ini segera terungkap, lalu segera diadakan jumpa pers, soal tanda tangan pimpinan lain kan bisa menyusul.

Saya berpikirnya begini. Mungkin karena saya orang kampung yang tidak paham birokrasi, saya berikan sprindik itu atas inisiatif saya. Mereka tidak memanggil saya. Mereka cuma bertanya karena mendengar kabar AU sudah menjadi tersangka. Malam itu saya ketemu mereka di Gedung Setiabudi buat memberikan sprindik. Saya cuma pesan tolong segera dimuat biar publik tahu. Karena saya yakin pekan depannya akan ada jumpa pers soal perkara itu.

Ternyata, takdir berbalik. Hal ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak. Sejak kasus sprindik ini bocor, muncul skenario buat menjustifikasi Abraham Samad sebagai pelaku. Kemudian dari situ dibentuklah Komite Etik.

Padahal, Komite Etik dibentuk atas dasar Berita Acara Pemeriksaan dilakukan oleh Pengawas Internal. Di depan PI, saya sudah bersumpah atas nama Allah S.W.T., kalau saya membocorkan sprindik itu tidak atas perintah siapapun, termasuk Abraham Samad.

Jadi Anda mengaku tidak pernah disuruh siapapun menyebarkan sprindik?

Tidak. Saya berani bersumpah dengan Alquran. Waktu itu saya tantang Komite Etik dan Dewan Pertimbangan Pegawai buat bersumpah di atas Alquran, dan di hadapan Abraham Samad, memang benar saya membocorkan sprindik itu tidak atas perintah siapapun.

Lalu timbul pertanyaan, kenapa Komite Etik dibentuk, padahal sejak awal saya sudah mengaku sebagai pembocor sprindik. Padahal sprindik itu kan bukan rahasia negara. Kira-kira apa tujuan mereka.

Apakah ingin mengkudeta?

Saya tidak mau berburuk sangka terhadap orang lain, tapi kemungkinan itu ada. Kita berpikir logis di sini. Lalu saya menganggap ada agenda buat mendiskreditkan Abraham Samad. Abdullah Hehamahua atau Bambang Widjojanto misalnya. Jika Bambang peduli dengan temannya yang menjadi ketua, dia bisa panggil saya di tahap awal. Ketika dia menerima BAP itu, dia bisa memanggil saya.

Kalau dia bijaksana, dia kan bisa menegur saya, karena perbuatan saya memiliki risiko luar biasa. Dan bisa menjatuhkan Abraham Samad. Tetapi dia tidak melakukan itu. Dia terlalu percaya ini adalah kesalahan Abraham Samad. Di situ kesalahan fatal dan blunder besar mereka.

 

YOUR COMMENT